Thursday, October 21, 2010

KAngen padamu, Pak J.K

Pagi ini kulalui dengan bersantai. Tak ada jadwal ngajar pagi ini. Jum'at adalah hari bersenang2ku. Ditingkahi bunyi gerimis diatap rumah, semerbak bau hujan dipekarangan, kusesap teh panasku. Televisi di hadapanku menyajikan berita yang masih itu2 saja. Setiap chanel kompak mengangkat topik serupa "Mengevaluasi Setaun Kepemimpinan SBY Budiyono". Berselonjor kaki, kuikuti juga berita itu akhirnya.

Jujur saja, politik tidak pernah singgah kehatiku. Selama ini segala tentang politik kuperhatikan segelintir saja. Tak perna benar2 membacanya dikoran, tak pernah benar2 mendengarnya di radio, dan tak pernah benar2 menaruh minat ketika disiarkan di tv. Untuk apa? Toh mengetahui itu semua hanya akan membuatku dongkol saja. Wajah-wajah tamak sang wakil terus menerus menelanjang tanpa malu. Kalau ditonton pagi, hanya akan mengacaukan suasana hati. Bukankah kata orang tua dulu tak baik memulai hari dengan hati yang ricuh? Katanya itu bisa membuat rejeki lari, pantang mendekat. Mungkin ini juga yang membuat bangsa ini terpuruk. Setiap pagi, media menyajikan borok bangsa ini, membuat orang pada dongkol. Akhirnya jauhlah rejeki dari bangsa ini. Lari ke negara-negara tetangga.

Tapi pagi ini beda, entah apa yang merasukiku, aku tak tahu. Yang pasti ada debar didada ini. Aku tak tahu akan menamainya apa. Dan aku tak ingin menamainya. Biarlah kurasa saja ia menggeliat-geliat. Aku ingin menikmati sensasinya kali ini. Sesekali kusesap teh manisku, membiarkan rasanya membawaku hanyut pada sesuatu yang tak ingin kunamai ini. Jadi biarkan aku memuntahkan perasaanku, meneriakkan emosiku, mencoba menasinalis, walau hanya untuk sekali.

Setahun sudah presiden dan wakil presiden terpilih memimpin Indonesiaku. Ulang tahun pertamanya semarak diwarnai demo, jeritan kecewa, tatapan sinis, serapah, dan masih banyak lagi yang kesemuanya itu sudah sangat jelas merupakan akumulasi dari perih hati masyarakat akan kinerja dan tabiat penguasa jaman kali ini. Menjadi saksi akan itu semua sudah sangat cukup membuat darah bergolak, tangan terkepal menahan marah. aku dan sebagian besar warga bangsa ini sukses dibuat geregetan.



Sudah setahun janji yang terucap tak terealisasi. Taburan teori yang hanya elok diatas kertas belaka, diruang2 rapat saja. kasihan tak pernah terlahir dan tumbuh menjadi realitas yang mendamaikan hari. Mengalami aborsi di tangan2 pemilik piutang budi, HUffttt...
Bombardir media suarakan tangis pun serupa radio rusak bagi mereka. Padahal nyata tertampak aibnya telanjang, namun tak malu. Tak punya malu.

Aku pernah mengaguminya, dimasa 5 tahun pemerintahan pertamanya, aku menjadi salah satu pemujanya. Betapa periode pertama itu kinerjanya memuaskan. Banyak masalah yang teratasi dengan cepat dan tepat. Dukungan pun mengalir padanya. Asa jutaan warga dititip padanya. Akan adanya Indonesia yang biasa mengaum lebih keras dimasa yang akan datang. Bukankah kita pernah menjadi Macan Asia? Hatiku miris ketika mengetik kata "pernah". Pernah??? aku tak suka kata ini. "We were Asian tiger" Aku benci ketika harus menuliskannya dalam bentuk simple past. Sesuatu yang hanya terjadi dimasa lalu dan sekarang tidak lagi. Tidakkah kau merasa ngilu membacanya, kawan? Dia mntasbihkan kata "LANjutkan!!" sebagai jarkon dalam kampanyenya. Kata itu menjanjikan adanya kelanjutan dari keberhasilan yang telah dicapai di lima tahun pertama. Tetapi rupanya jarkon itu hanyalah lagu menjelang tidur saja. Didengungkan untuk membelai mimpi selamanya menjadi mimpi. Ketika terbangun, terbentang kecewa yang mengiris.

Menyaksikan kinerja sepasang penguasa ini, hadirkun rindu pada sosok mungil itu. Pada bapak jenaka itu. Pria yang selalu menyapa para wartawan dengan nama mereka sendiri. Pernah ku dengar ia berkata pada seorang wartawan yang tengah menginterview dirinya "Masalanya tidak hanya itu, FAuziah..." Dia menjelma menjadi seorang bapak yang sangat penyayang dimataku. Ada yang lain pada caranya menyebut nama wartawan itu. Bukan seperti seorang wakil presiden yang berbicara kepada kuli berita, tetapi lebih selayaknya bapak memanggil nama anaknya, seumpama guru yang menyebut nama muridnya yang haus ilmu. Aku kangen pada bapak yang tegas, tangkas, dan pekerja keras itu. Aku rindu padamu, Pak J.K...

Mau tak mau, aku membandingkan pemerintahan kali ini dengan pemerintahan 5 tahun pertama. Sungguh sangat jauh berbeda. Terbukti sudah, tanpamu dia buakan apa2. Pernah dulu, ada diskusi dengan sejawat, jelang pemilu 2009. Aku ingat, rekanku pernah berkata begini "Coba lihat saja, kinerja pak J.K, jika jadi wakil presiden saja ia mampu membuat keputusan yang cepat dan matang, bagaimana kalau menjadi presiden?" kepala dan hatiku mengangguk mengamini kata2 rekanku itu. Yah, pada saat menjabat wakil presiden saja ia mampu berbuat lebih untuk bangsa, bagaimana jika menjadi presiden??? harapanku melambung akan itu. Pak J.K yang tegas, cepat dan memihak rakyat.

Setahun perjalanan pemerintahan baru merupakan cermin yang sangat jernih, bahwa memang bangsa ini sangat membutuhkan sosok cekatan, tegas, dan berani seperti dia. Baapak Jusuf Kalla...

teh ku sudah habis, matahari menyembul malu-malu dibalik awan, Sinarnya mengkristalkan butiran hujan pada ranting-ranting pohon, burung-burung pun berkepak menari, ku matikan TV ku, sadar akan kondisi kamarku yang serupa kapal pecah. Sebelum beranjak berdiri, kuselipkan doa dalam hatiku, berharap permohonan ini sampai dibawa cahaya menuju langit, menggoyang arsy, dan dikabulakannya...
"Semoga Indonesiaku bisa kembali pulih, mengaum keras di penjuru bumi, menggentarkan mereka yang berencana memperdaya tanah air pusaka nan jaya, amiiinnn"


Ririn...

Friday, October 15, 2010

Pernah disuatu masa...


Pernah disuatu masa
Dia seolah berada disurga
Madu fatamorgana ia reguk
Burung burung bernyanyi hanya untuknya
Semesta adalah pelayan penyempurna bahagianya

Pernah disuatu masa
Kabut menggelayut dilangit senja
Ketakutan ia akan hitam
Gemetar ia akan kelam
Lalu berlarilah ia jauh

Dipilihnya dasar lautan sebagai tempatnya bersembuyi
Setidakya disini tak ada hujan, pikirnya
Dan nyamanlah dia dengan dunia barunya
DIdengarkannya saja teriakan awan yang telah kembali seputih kapas memanggilnya pulang
Di abaikannya saja rayuan angin yang menggodanya dengan kehangatan musim semi
Ia bergeming
Tak sudi kembali
Karena semua takkan pernah bisa sama lagi….





RIrin Syahriani, S.Pd 
(nambahin title karena nulisnya waktu lagi di sekolah, saat siswa-siswiku tengah mengerjakan tugas, hehehe....)
September, 25th 2010

Jalan yang kupilih

Akhirnya kuputuskan mengakhiri kesia-siaan ini. Berhenti meremehkan waktu, seakan dia akan ada terus untukku. beberapa hari belakangan ini jiwau ingin teriak. keras-keras. isi dalam kepala yang meronta untuk dikeluarkan. tapi selalunya kusabar-sabarkan saja mereka dengan berlindung dibalik tameng sibuk, lagi bad mood, koneksi gag bagus, blablabla... Tapi kali ini, mereka dah bisa diajak kompromi lagi. Katanya mereka bakal ikut program keluarga berencana kalo masih terus kupenjara dalam kepala. Mereka akan berhenti memproduksi ide. Wah sungguh mengerikan!!! Menyerah tanpa syarat akhirnya ku posting juga deh pahatan perasaan yang sebenarnya telah kuketik beberapa hari yang lalu... ini dia...

“Don’t under estimate your self!”
“There is a giant in your body”


Entah sudah seberapa sering aku mendengar dan melihat kalimat ini. Ada dalam ucapan guru-guruku, ada dalam nesehat sahabat-sahabatku, membahana di radio-radio, di buku-buku motivasi, di pamphlet-pamphlet, di kolom-kolom koran, dan sekarang marak didengung-dengungkang oleh para motivator. Efek kalimat ini pun tidaklah main-main. Banyak jiwa-jiwa yang tertidur mulai menggeliat lalu kemudian tebangun demi mendengar kalimat-kaimat ini. Rame-rame mereka merebut peluang dan melambungkan mimpi, semata karena didadanya telah terbangun sang macan. Memamerkan cakar-cakar siap menerkam ketakutan dan ketakpercayaan diri yang selama ini meninabobokan mereka telalulama.

Aku menyaksikan fenomena ini dengan takjub. Satu-satu kusaksikan semangat memprofokasi ketakberdayaan untuk beranjak. Tiap kali ada lowongan mereka tak ragu untuk menjemput. Siap berebut tempat. Walau seringkali tak linear dengan academic background, dan keahlian yang mereka miliki. Mereka telah jadi macan., hehehe


Lalu aku bertanya pada diri yang juga tak menunjukkan geliat seperti halnya mereka. “Am I underestimating my self?” Mungkin jawabannya iya. Tapi saya tidak malu untuk itu. BUkankah tidak perlu jadi macan untuk memberikan yang terbaik dari diri? Macan bisa berjaya jika dia di hutan rimba. Ditempat dimana semestinya ia berada. Tapi apakah dia bisa menunjukkan kedigjayaan yang sama jika dia berada di dalam rengkuhan samudra nan biru? Apakah dia bisa mengaum dengan penuh wibawa jika berada di rentangan angkasa raya? Aku kira tidak. Lalu mengapa semua seakan berlomba menjadi macan? Aku tak mau menjadi macan jika angkasa raya adalah rumaku. Bunuh diri namanya jika memilih menjadi macan, jika samudra yang membiru itu adalah nafas hidupku.


Tepatnya 28 September yang lalu, Kemenlu mengadakan sosialisasi menyangkut penerimaan cpns jalur khusus di lingkupnya. Dalam sosialisasi itu, dibahaslah mengenai jenjang karir dan tanggung jawab apabila berhasil masuk dan bergabung dalam kementrian bergengsi itu. Segala iming2 gengsi yang menggiurkan, jumlah uang dalam rekening yang bisa membuat orang lupa diri, pergaulan dari kalangan atas, fasilitas serba lux, bla..bla..bla.. aku mendengar dengan takjub, sembari berhayal, wa….hhh alangkah menyenangkannya bisa medapatkan segala kemewahan itu… Kemana-mana mengendarai mobil pribadi, mobile phone yang selalu keluaran terbaru, laptop tercanggih dan termahal, berbalutkan pakaian dengan standar fashion ala perancang2 paris, farfume mewah yang tak semua kalangan bisa memakainya, kolega dari kasta atas, dan sebagainya dan sebagainya… Yah itulah yang terbayang dalam ruang benakku ketika kepala biro kemenlu itu mengurai janji-janji yang melenakan yang ditawarkan kemenlu.

Tetapi ketika beliau menyebutkan tugas dan tanggung jawab yang akan diemban anggota kemenlu, balon-balon imajinasiku pecah satu-satu. "Blup..blup.." bunyinya mengaktifkan kembali saraf diotakku untuk kembali kedunia nyata, bumi tempatku berpijak saat ini. Menyerbuku dengan banyak sekali pertanyaan. Tentang apakah mejadi anggota kemenlu cocok dengan diriku? Tentang sanggupkah aku memikul beban yang diemban para duta Negara itu?

Lalu seakan sebuah cermin besar diletakkan dihadapanku oleh tangan tak kasat mata. Bukan cermin Tarsah seperti yag dilihat oleh Harry Potter. Bukannya menampakkan hasrat terdalam dari hatiku tetapi cermin yang dihadapanku ini kebalikanya. Aku menatap kedalam cermin dan yang tampak pertama kali adalah gambaran aku yang kalang kabut dengan berbagai kewajiban administratif yang diemban anggota kemenlu. aku pun bergidik ngeri. Lalu cermin besar itu kemudian menampakkan satu episode yang lain lagi. Aku melihat diriku dibentak-bentak oleh atasan karena laporan yang aku buat tak seperti yang mereka inginkan, lalu ada lagi aku yang sedang duduk lesu didepan komputer, mata merah, perih dan berat, jam di meja menunjukan pukul 2 pagi, dan aku mendamba hangatnya selimut di kamarku. Kemudian sang cermin menampakkan aku yang tengah telpon2an dengan family, setengah gila memikirkan mereka tengah kumpul2 keluarga-TANPAKU-!!! oh tidak!!! segera tinjuku menhancurkan cermin bangsat itu!!!

Rupanya menjadi anggota kemenlu sangat tidak cocok dengan diriku. Apa yang kupunya dan apa yang bersedia kuberikan tidaklah bersesuaian dengan apa yang dibutuhkan pihak kemenlu. Aku tidak menyalahkan pihak kemenlu yang mensyaratkan apa yang menurutku terlalu berat. Aku hanya membaca diri. Membaca keinginanku dan konsep yang kubuat dalam menapaki hidupku. Aku orang yang cukup nyante, senang bermalas2an dipagi hari, menikmati langit sore, bercengkrama dengan diam, melakukan hal2 tak penting, sama sekali bukan pribadi yang diinginkan kemelu. Lalu kenapa juga aku harus memaksakan diri??

                                                                           Ilustrasi

Selama ini yang kuyakini, mengajar adalah pilihan hidupku, jalan yang ditunjukkan Tuhan untukku. Aktivitas yang tidak menuntut waktu terlalu banyak. Jadi aku masih bisa menikmati hari bersama keluarga, bermalas2an (yang merupakan sifat bawaan orok), dan melakukan hal2 tak terduga, hehehe. Lagian menurutku, aku bagus kok jadi guru. Murid2ku juga bilang begitu, sih :D. jadi biarlah kujabani saja tugas mulia ini dengan sebaik2nya. Setidaknya aku merasa bisa mempertanggugjawabkannya di dunia akhirat. Toh ada banyak sekali orang2 yang memang layak untuk menjadi anggota big family of kemenlu. Mereka yang jiwanya benar2 terpanggil mengemban tugas2 anggota kemenlu. Tentu saja dengan segala kualifikasi standar kemenlu.

Lalu Aku berkaca pada artis2 di tanah air tercinta yang degan tak tahu malunya menjabani segala pekerjaan dimana they are not good in it at all. Contohnya saja, ya si …, eh, tidak perlu tulis nama. Nanti bisa tersangkut kasus lagi. ok. kita bisa lihat arktris-aktor yang menjajal kemampuan diluar bidang yang mereka expert, misalnya yang biasa akting jadi coba nyanyi, atau pun sebaliknya dengan modal ikutan2 doang aau malah lebih parah merasa diri terlalu multi talent. Fakta membuktikan bahwa hanya sedikit dari mereka yang benar2 ok dan bisa diterima masyarakat, seumpama BCL. Tapi yag lain?? malah membuat dunia musik yang kukenal jadi tak seasik dulu. Akhirnya bukannya menaikkan pamor mereka, tetapi malah membuat mereka jadi sasaran cemoohan pecinta musik. Sungguh sangat tidak cool. Bukankah akan lebih baik jika mereka fokus saja ke bidang yang mereka kuasai supaya bisa memberikan yang terbaik?? Bukankah masih banyak penyanyi handal yang bisa menghiasi jagad musik? Bukankah kanvas jika tidak dilukis oleh seorang pelukis yang expert tidak akan menghasilkan lukisan yang menawan? Bukankah mencintai musik tidak berarti harus menjadi pemusik?

Tetapi, mereka masih agak mending. Paling tidak mereka tidak merugikan orang lain. Toh kalau tidak suka lagunya, pendengar punya kuasa yang besar untuk mengganti track atau chanel. Masalah selesai. sama sekali tak memakan korban. Tapi apa jadinya jika saya memaksakan diri untuk menjadi apa yang sebenarnya saya tak sanggupi? Bukan karena bodoh, tetapi karena jiwa saya tersiksa jika dipaksa kesitu. Rumah saya bukan disitu. Aku tak sanggup membayangkan nasib bangsa yang kusayangi ini jika berada dipundak mereka yang tak berkompeten untuk itu, mereka yang memang bukanya bodoh, bukannya tak hebat, tapi memang tidak cocok ditempat itu?

Ketika modal yang dimiliki hanya sekedar rasa percaya diri yang tinggi, tanpa adanya background yang sesuai, mending tidak usah memaksakan diri untuk bekerja dibidang2 tertentu. Toh masih banyak bidang lain yang hanya akan sukses jika ditangani kita. Masih banyak senyum yang bisa kita ukir dibumi pertiwi ini diluar lingkup kemenlu.

Bkan kah tak perlu menjadi macan jika rumah kita adalah samura nan biru??

RIRIN...

Wednesday, October 13, 2010




secangkir teh menemaniku pagi ini
sensasi melenakan menyapa indra kecapku
tersenyum menatap pagi
menagih janji akan bahagia

pagi ini senyumku cerah
janji telah kau bayar lunas
ah,,, kau memang tak pernah ingkar atas keadilan yang kau ikrarkan
kau menunjukiku dengan gamblang

dan ketika kemegahanmu menghias langit pagiku
optimis yang manis menari-nari dalam hatiku
kau memang tak tetandingi
memanjaku dengan tiada taranya.