Tuesday, December 13, 2011

99 Cahaya di langit Eropa


Assalamualaikum Wr. Wb.

Kali ini sudah bisa tidak. Tidak kuijinkan diriku menunda lagi postingan kali ini. Alasannya satu saja dan sangat sederhana. Aku tak ingin moment ini terlewat sia-sia tanpa merekamnnya dalam jejak tulisan. Karena akan ada waktu dimana aku akan mengenang perasaan ini. Takjub, terkesan dan lebih kepada terharu sebenarnya. Yeaahh itulah sekecamuk emosi yang kukenali setelah membaca buku ini. Buku tentang perjalanan seorang anak manusia bernama Hanum Salsabiela Rais selama 3 tahun di Benua Eropa.



Buku ini sangat special menurutku dan tidak seperti buku traveling yang pernah kubaca, yang menyajikan janji-janji manis akan keindahan dan landmark suatu Negara, buku ini lebih “out of the box”. Alih-alih melulu menngilustrasikan segala keindahan negeri-negeri eropa yang sudah terlalu sering kubaca dalam buku traveler, hal-hal tentang Eifel, Norte Dame, Seine, cs. Buku ini lebih dari sekedar itu (seperti yang Hanum beberapa kali ungkapkan dalam buku ini, ini lebih dari sekedar Eifel atau Lovre). Buku ini tentang perjalanan mencari jati dirimu yang paling hakiki. Menjelajah pada sesuatu yang pernah jaya dan benderang ribuan tahun yang lalu. Buku ini tentang perburuan bukti kejayaan Islam yang bagi Hanum, dan juga bagi saya, mungkin juga bagi kalian yang sudah atau akan membaca buku itu kelak merupakan jalan untuk jatuh cinta atau makin jatuh cinta pada Islam.

Tak jarang aku berhenti sejenak ketika membaca buku ini. Berhenti untuk menarik nafas, menghela sudut mata dengan tissue kemudian melafalkan namaNya dengan hati yang bergetar. Kerinduan Hanum mewakili kerinduanku sendiri. Sungguh benar kata Hanum, manusia itu sungguh keciiiiilll dan seringkali lupa padaNya penyebab dari segala sebab. PadaNya yang semua pertanyaan akan berakhir. PadaNya yang semua pengembaraan dan pencarian akan kembali. SUngguh sebuah novel traveler yang begitu memberikan kesan mendalam kepadaku. Membuatku sesenggukan beberapa kali.

Sebagian temanku menganggap aku memiliki sensitifitas yang kurang terhadap emosi sedih. Kadang aku pun tak mengingkari itu. Aku tak bisa memaksakan kelenjar air mataku terbentuk begitu saja ketika membaca bacaan atau menonton film yang menurut mereka sangat mengharubiru. Yeahh, tak jarang ketika teman-temanku menyodorkan sesuatu untuk aku tonton atau aku baca dengan ekspektasi bahwa aku pasti akan tersentuh dan mencucurkan air mata, tetapi itu tidak terjadi. Mungkinkah aku ini orang yangkurang sensitive atau kurang peka?? Aku sendiri tak begitu memahami dan tak pernah benar-benar ambil pusing. Biar sajalah mereka beranggapan begitu. Tetapi, terkadang aku tak bisa mengontrol airmataku untuk tidak jatuh pada saat-saat tertentu. Ku akui aku mungkin tidak terlalu baik dalam hal-hal yang bernuansa sedih. Aku jarang menangis pada “kematian” tetapi seringkali airmataku tebentuk dengan sempurna pada moment yang seharusnya bahagia, seperti di pernikahan sahabatku, atau ketika aku menonton film-film yang berakhir bahagia setelah berjuang tiada henti. Momen dimana aku menangis bukan pada saat sang tokoh menderita tetapi lebih kepada saat-saat mereka berhasil menaklukkan segala hambatan. Pada saat itu hatiku akan bergetar hebat, aku tergugah, aku tersentuh.

Bagi sebagian diriku, kesedihan dan segala kesulitan itu adalah hal yang tidak terlalu asing. Aku telah terbiasa hidup dimana segala sesuatu bagi orang lain mudah untuk didapatkan, tetapi bagiku tidak. Aku telah dididik dengan baik oleh bapak dan Ibuku untuk tidak selalu mengeluhkan hal-hal seperti itu. Sebaliknya mereka mengajariku untuk selalu bisa melihat sisi terbaik dalam setiap masalah untuk dipetik dan dinikmati. Orang yang bisa bahagia bukan hanya mereka yang hidupnya selalu berkecukupan. Kebahagian itu milik semua orang yang memilih untuk menikmati hidup dan pandai-pandai mengambil kearifan yang niscaya ada pada setiap masalah, bukankah begitu??? Mungkin itulah mengapa, aku tidak terlalu bereaksi pada emosi “sedih” menurut beberapa temanku.

Tetapi buku ini sukses membuatku beberapa kali sesunggukan. Novel ini bukan novel sedih. Tetapi cara Hanum bercerita, bahasa yang dipilihnya, mampu membawaku menyelami apa itu kehilangan yang sesungguhnya. Ketika aku membaca buku ini, aku disadarkan bahwa aku selama ini telah banyak kehilangan. Kehilangan moment untuk mempelajari agamaku, menggali pengetahuan hakiki tentang kepada siapa nanti aku akan kembali. Buku ini tidak hanya bercerita tentang pencarian dan penemuan Hanum pada titik nolnya. Buku ini juga sukses membuatku berfikir tentang titik nolku. Titik dimana semua yang ada bermula dan berakhir…

I highly recommended this book for you, mate. Trust me it’s definitely inspiring….


No comments: